Cerita Ngewe Bos

Saturday, August 3, 2024

Cerita Panas Istri Ngewe Dengan Office Boy

Cerita Enak - Istri Ngewe Dengan Office Boy. Motor Honda hitam itu perlahan-lahan melaju di sebuah jalan lebar yang membentang di dalam kompleks perumahan elit. Pengemudinya, seorang pria berkulit gelap dengan rona cokelat pekat mendekati hitam, tampak mengamati rumah-rumah di sekitarnya, seolah mencari nomor tertentu. Tindakannya menunjukkan bahwa ia bukan penduduk tetap di kawasan tersebut. Setelah beberapa saat, ia akhirnya menemukan nomor yang diincarnya, lalu menghentikan motornya di depan sebuah rumah besar yang terletak sedikit lebih tinggi dari jalan di depannya.

Pemuda yang masih berusia sekitar dua puluhan tahun dan memiliki penampilan khas pribumi itu kemudian turun dari motornya, mematikan mesin, dan dengan sedikit keraguan mulai melangkah mendekati pagar besi rumah tersebut. Ia mencari tombol bel yang, seperti kebanyakan rumah baru di lingkungan itu, tersembunyi di balik pagar besi.

Setelah menekan tombol bel tiga kali, akhirnya pintu rumah terbuka, memperlihatkan seorang pria yang tampaknya penghuni rumah tersebut, berusia sekitar akhir dua puluhan atau awal tiga puluhan tahun.

"Selamat sore, Pak Ridwan," sapa pemuda itu, melepaskan helmnya dan menampilkan rambut tebal yang sedikit bergelombang serta wajah yang cukup tampan dengan kumis tipis. Senyumnya sedikit malu, dan matanya melirik ke kiri dan kanan, menyadari bahwa jalanan tersebut tampak sepi.

"Selamat sore, Reza. Ayo, masuk saja, jangan sungkan. Bawa juga motornya ke dalam. Meskipun di sini biasanya aman, kita tidak pernah tahu jika ada orang dengan niat buruk," sambut Pak Ridwan dengan ramah, wajahnya bersih dan menampilkan ciri khas keturunan yang berbeda.

Reza mengangguk setuju, kemudian menuntun motornya melewati pagar besi dan mendorongnya menuju garasi yang terletak sedikit lebih tinggi dari jalanan di depan rumah.

"Adik Reza sudah makan?" tanya Ridwan, tuan rumah.

"Sudah, Pak. Tadi di tengah jalan saya mampir ke warung gudeg favorit saya," jawab Reza sambil menyerahkan bungkusan kecil kepada Ridwan. "Ini pesanan Bapak, saya bawakan."

"Oh, terima kasih. Ayo masuk dulu, minum sebentar. Pasti capek di jalan, dan pasti tadi macet. Kita ngobrol-ngobrol sebentar, jangan sungkan, tidak ada orang lain, cuma istri saya yang di rumah, tapi dia sedang mandi," kata Ridwan dengan ramah, melirik Reza dengan tatapan bermakna.

"Baik, Pak, tapi tidak lama ya, nanti takut hujan," jawab Reza sambil mengikuti Ridwan melewati pintu rumah menuju ruang tamu.

"Silakan duduk. Kalau hujan, tak apa, kan sekarang sudah di bawah atap, jadi tidak akan basah kalau menunggu di sini. Dik Reza mau minum hangat atau yang dingin?" tanya Ridwan.

"Enggak usah repot-repot, Pak. Apa saja yang ada," jawab Reza, masih merasa sedikit sungkan.

"Biasanya di jam-jam segini paling nikmat minum teh jahe. Pasti kamu suka teh jahe ginseng—badan jadi hangat, segar, dan energik," lanjut Ridwan, dengan nada yang tampak mengarah ke maksud tertentu.

"Nanti saya coba cari dulu teh itu, ya. Maklum, pembantu sedang sakit, dan biasanya yang bikin teh ginseng ini istri saya. Tapi mungkin dia sudah selesai mandi," tambah Ridwan sambil melangkah menuju bagian dalam rumah yang luas.

"Baiklah, Pak. Saya ikut saja apa yang biasanya Bapak dan Ibu minum di sore hari," jawab Reza.

Ridwan kemudian melangkah ke dapur, di mana Vonny, istrinya, sudah selesai mandi dan sedang berdiri. Rambutnya masih sedikit basah dan tergerai di pundak, dengan pakaian rumah berupa gaun pendek putih yang hanya menutupi setengah pahanya. Baju itu cukup tipis sehingga jelas terlihat puting buah dadanya dan celana dalam model string yang dipakainya. Vonny sedang membuat kopi dengan mesin Philips Senseo, dan aroma harum kopi segar memenuhi dapur.

Ridwan mendekat ke arah Vonny, memeluknya dari belakang dengan lembut, lalu mulai menciumi pundak dan lehernya yang jenjang dan putih. Jemarinya yang nakal bergerak di sekitar pinggang Vonny, kemudian merambat ke depan, meremas lembut area ketiaknya sebelum beralih ke gundukan dadanya yang tak tertutup BH, terasa padat dan kenyal di tangannya.

Tak berhenti di situ, Ridwan perlahan menarik tanktop Vonny ke atas, sampai tersingkap ke atas pinggulnya, memperlihatkan betis dan paha yang kini terbuka jelas. Tangannya mulai mengelus-elus paha dan pinggul Vonny dengan penuh gairah.

"Von, si office boy sudah datang, tuh. Dia lagi nunggu di ruang tamu, sepertinya kehausan juga. Mungkin bisa diajak minum bareng," ujar Ridwan dengan nada menggoda, sambil terus meraba tubuh istrinya.

“Udah ah, geli, ngapain sih dia datang sore-sore begini?” tanya Vonny sambil menggeliat.

“Dia nganterin barang pesanan, sayang. Lagipula, mungkin dia kangen pengen lihat nyonya yang bahenol ini,” balas Ridwan dengan nada bercanda, meskipun di balik itu, dia sudah merencanakan sesuatu yang lebih dalam.

“Enggak usah, deh. Emangnya dia enggak punya istri atau simpanan sendiri?” jawab Vonny, masih agak ragu dengan petualangan swinger yang pernah dibahas oleh mereka, meskipun dia tahu Reza selalu “lapar” mata dan memperhatikannya setiap kali datang ke kantor tempat Ridwan bekerja.

Vonny dan Ridwan adalah pasangan muda yang sangat modern, dengan prinsip hidup yang liberal dan bebas, termasuk dalam hubungan pernikahan mereka. Keduanya sering membaca bersama cerita-cerita erotis, dan topik seperti tukar pasangan dengan persetujuan bersama menjadi salah satu tema yang menarik minat mereka.

Mereka berbicara secara terbuka, membahas kemungkinan jika Ridwan memiliki hubungan dengan wanita lain, dan apakah Vonny merasa keberatan. Sebaliknya, mereka juga mendiskusikan apakah Ridwan bersedia jika ada pria lain yang ingin mencicipi tubuh Vonny. Awalnya, Vonny sangat terkejut dengan arah pembicaraan ini, tetapi ternyata rasa penasaran dan gairah mudanya lebih besar daripada rasa malunya.

Sebagai wanita yang menjaga harga diri dan tidak ingin dianggap "murahan," Vonny tidak serta merta menyetujui ide tersebut. Ketika ditanya apakah dia mau berhubungan dengan office boy di kantor, jawabannya selalu menghindar, tanpa memberikan persetujuan yang jelas.

"Enggak ah, nanti bisa ketahuan orang lain. Belum tentu juga Reza bisa dipercaya untuk tutup mulut. Lagipula, ngapain sih?" begitu selalu jawaban Vonny, menolak secara halus. Namun, setelah beberapa minggu dirayu, dipancing, dan "dipanasi" dengan berbagai cara, jawabannya mulai berubah menjadi lebih ambigu:

"Enggak tahu lah, lihat saja nanti gimana. Belum tentu juga dia ada minat, mungkin dia cuma senang melihat-lihat saja. Biasa kan, mata lelaki begitu, kayak kamu juga," katanya.

Dari jawaban ini, Ridwan mulai merasa yakin bahwa istrinya tidak sepenuhnya menolak, dan tampaknya penasaran dengan bagaimana rasanya melakukan perselingkuhan dengan izin dari suaminya sendiri.

"Udah selesai kan kopinya untuk tiga orang? Bawa, deh, ke ruang tamu. Taruhan, yuk, si Reza pasti melotot ngeliat kamu pakai baju kayak begini," goda Ridwan, terus menghasut istrinya.

"Kamu aja yang bawa, aku mau ganti baju dulu," jawab Vonny dengan nada pura-pura, padahal dia sengaja mengenakan tanktop pendek yang tipis itu karena tahu OB Reza akan datang sore itu.

"Ayolah, jangan malu-malu. Abis mandi kan kelihatan segar banget, pasti kecium deh badannya, nyonya amoy bahenol yang wangi dan menggoda," desak Ridwan dengan nada menggoda.

Sore itu, pembantu mereka memang sengaja diberi libur untuk jalan-jalan dan nonton film di mall, ditambah uang jajan. Mana ada pembantu muda yang menolak bonus tambahan seperti itu.

Dengan langkah yang masih sedikit ragu namun tetap lemah gemulai dan disertai lenggokan yang memikat, Vonny perlahan keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi tiga cangkir kopi, beberapa potong coklat, dan kue kering sebagai camilan. Meskipun matanya sedikit menunduk untuk memastikan cangkir-cangkir kopi tidak tumpah, Vonny tidak bisa mengabaikan pandangan Reza yang langsung berdiri, matanya tak berkedip, menatapnya dengan tatapan penuh kekaguman dan keterkejutan.

Saat meletakkan nampan berisi cangkir kopi dan camilan di meja tamu yang terlapis kaca, Vonny harus membungkuk, menyebabkan bagian atas tanktop-nya terbuka dan memperlihatkan belahan dada yang putih dan montok. Tatapan Reza langsung tertuju pada puting dada Vonny yang mencuat agak mengeras, kemungkinan karena dinginnya AC.

Setelah meletakkan dan membagi cangkir kopi, Vonny dan Ridwan duduk berdampingan di kursi salon yang lebar, sementara Reza duduk di depan Vonny. Vonny berpura-pura malu, menarik ujung tanktop-nya yang dalam posisi duduk hanya menutup setengah pahanya. Mereka mulai berbincang, membahas berbagai topik hingga Ridwan bertanya apakah Reza sudah berkeluarga.

"Belum," jawab Reza. "Masih sulit mencari pasangan yang cocok zaman sekarang, apalagi dengan kondisi keuangan yang belum stabil. Rasanya sulit untuk menanggung keluarga jika keadaan sendiri saja belum memadai."

Tiba-tiba, HP Ridwan yang terletak di meja kerja di ruangan sebelah berbunyi. Ridwan meminta izin untuk masuk ke dalam, meninggalkan Vonny dan Reza di ruang tamu.

Kini Vonny dan Reza berada sendirian di ruang tamu, dan Vonny mulai merasa kikuk. Ia merasakan tatapan Reza semakin intens, terutama pada tubuhnya yang tampak jelas di balik tanktop tipis. Reza tampak mengincar bagian dada dan paha Vonny, membuatnya semakin ingin menarik ujung tanktop-nya ke bawah dan merapatkan pahanya agar tidak terlihat.

Reza tampaknya semakin berani dan mulai yakin bahwa Vonny merasa "panas" dan menantikan sesuatu yang lebih spesifik. Ketika Reza berusaha menggeser duduknya ke arah meja untuk meletakkan cangkir kopi, Ridwan tiba-tiba muncul. Ridwan sudah mengganti pakaian dan memegang kunci mobil, siap untuk pergi.

"Eeh, mau ke mana? Kok sudah ganti baju?" tanya Vonny dengan kaget dan gugup. Hal ini di luar dugaan dan belum pernah dibicarakan sebelumnya, padahal ini adalah bagian dari rencana Ridwan dan Reza yang telah disusun sejak kemarin di kantor.

"Aku harus balik ke kantor sebentar, sayang. Ada transaksi Forex dan hedge funds yang tidak bisa ditunda, kalau tidak, bisa rugi," jawab Ridwan. "Setengah jam lagi pasti sudah balik. Reza, tolong temani istri saya sebentar. Nanti kita makan malam bersama. Aku mau beli sate kambing, Reza suka kan?"

Vonny mulai menyadari bahwa ini semua pasti sudah diatur oleh Ridwan dan merasa sedikit jengkel karena merasa "dijebak." Namun, sebelum ia sempat mengajukan protes, Ridwan sudah bergegas keluar menuju garasi, masuk ke dalam mobil Nissan Qashqai Trail, dan melaju menuju jalan setelah menutup pintu garasi di belakangnya. 

Meninggalkan Vonny yang merasa terombang-ambing antara ketidaknyamanan, rasa takut, dan godaan karena kesempatan untuk selingkuh kini terbuka lebar.

Ridwan memang telah lama merayu Vonny, akhirnya berhasil membujuknya dengan berbagai cara, termasuk dengan mengajaknya membaca kisah-kisah erotis yang ramai di berbagai weblog. Hal ini menggugah rasa ingin tahunya untuk mencoba bagaimana rasanya berhubungan dengan lelaki asing, terutama dengan seseorang yang sangat kontras dengan kulitnya yang putih bersih.

Vonny awalnya memperkirakan bahwa proses ini akan berlangsung secara bertahap—berkenalan, bertemu, dan ngobrol basa-basi sebelum memasuki tahap yang lebih lanjut. Namun, semuanya berjalan jauh lebih cepat dari yang diperkirakannya. Ia merasa ingin lari, tapi pakaian yang dikenakannya dan keputusan yang telah diambil membuatnya merasa terjebak dalam permainan yang telah disetujui.

Dari sudut matanya, Vonny melihat senyum mesum Reza. Reza, yang telah sepakat dengan Ridwan, kini memiliki kesempatan untuk memulai aksinya. Mereka telah sepakat bahwa Reza diperbolehkan untuk membujuk, merayu, dan sedikit memaksa, selama satu jam penuh Ridwan belum akan kembali. Jadi, Reza memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan rencananya.

Yang tidak diketahui Reza adalah bahwa Ridwan sebenarnya berniat untuk kembali beberapa menit kemudian. Ridwan akan memarkirkan mobilnya di depan rumah sebelah, masuk diam-diam lewat pintu kecil samping garasi, dan mengintip peristiwa swinger antara Vonny dan Reza yang beruntung.

Sementara itu, Reza memperhatikan betapa gugupnya Vonny menghadapi situasi yang tak terduga ini. Untuk sedikit mengalihkan perhatian, Reza mencoba merubah pembicaraan agar lebih mudah mendekati Vonny. 

"Ibu senang bunga ya? Anggreknya yang dipasang dekat jendela sangat bagus. Ibu merawatnya sendiri?" tanya Reza, pura-pura menunjuk ke arah bunga anggrek merah muda berbintik-bintik yang memang terpasang dekat jendela.

Vonny merasa ini adalah kesempatan untuk menghindari tatapan Reza yang menggebu-gebu. Ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah bunga anggrek, berharap bisa sedikit menjauh dari tatapan Reza dan mengalihkan fokusnya.

“Iya, saya coba-coba sendiri, baru mulai bulan lalu. Entahlah, bisa tahan atau tidak,” jawab Vonny, berdiri di depan jendela sambil memperlihatkan anggrek kesayangannya.

Namun, berdiri di depan jendela justru membuat sinar matahari semakin menyorot tubuhnya, membuat siluetnya semakin jelas terlihat di balik tanktop tipisnya.

Reza memanfaatkan kesempatan ini untuk mendekat. Kini dia berdiri di belakang Vonny, semakin dekat hingga tubuh mereka hampir berdempetan. Vonny merasakan hembusan nafas hangat Reza di belakang lehernya. Tangan Reza mulai berada di atas pundaknya, berdiam sejenak sebelum mengelus dan meraba kulitnya yang mulai merinding. Bibir hangat Reza kemudian menyentuh leher dan bahunya.

“Wah, relax, Bu, relax sedikit. Pundak Ibu terasa sangat tegang, otot-ototnya. Coba duduk lagi di sofa panjang, nanti saya pijat, pasti Ibu akan merasa senang dan tegangnya hilang,” ujar Reza, melanjutkan usahanya untuk merayu Vonny.

Vonny mencoba membalikkan tubuhnya, namun Reza dengan sigap memeluk pinggangnya yang ramping dengan tangan kirinya, sementara ciumannya di leher dan belakang telinga Vonny semakin intens. Tak lama kemudian, Vonny merasakan kedua tangan Reza mulai memegang pundak dan belakang lehernya, diurut dan dipijat sehingga sedikit mengurangi ketegangan.

“Enngmmh, udaaah ah, jangan mas. Saya kan istri orang, tak baik kalau ini ketahuan orang,” protes Vonny, masih berusaha mengendalikan diri, meskipun ia tahu bahwa penolakannya tidak sepenuh hati.

“Emmmh, saya enggak tahan lihat tubuh Ibu. Sudah lama saya ingin meraba, sekarang kita berdua, tak ada yang tahu. Nikmati saja, Bu, kehausan Ibu nanti akan hilang,” suara Reza mendesah di telinga Vonny.

Sambil terus memijat dan mengurut dengan tangan kanannya, Reza melingkarkan lengan kirinya di pinggang Vonny dan perlahan-lahan menariknya mundur selangkah demi selangkah menuju sebuah sofa empuk yang cukup lebar.

Vonny menengadahkan kepalanya dan menghembuskan nafas lembut yang lama-kelamaan menderu semakin cepat. Kedua tangannya meraih ke belakang, memegang kepala Reza yang berada di belakang lehernya sambil terus mencium bergantian kedua telinganya, membuatnya semakin geli.

Langkah demi langkah, Reza setengah menyeret Vonny ke belakang hingga mereka mencapai sofa empuk yang panjang. Reza langsung menghempaskan Vonny ke sofa dan meletakkannya di situ, sementara Vonny berusaha untuk segera bangun dan berdiri. Namun, Reza lebih sigap. Tubuhnya yang tegap dan berat menindih Vonny, membuatnya berada dalam posisi tertelungkup.

Dalam keadaan ini, Reza dengan mudah menindihinya. Dengan sangat terampil, ia terus memijat dan mengurut leher serta pundak Vonny, sementara pinggul Vonny yang bulat menggairahkan tertindih di bawah tubuhnya.

Vonny tidak bisa banyak bergerak atau berontak dalam keadaan yang tidak menguntungkan tersebut. Hanya kedua tangannya yang terkadang menggapai ke belakang, berusaha melepaskan diri dan mendorong tubuh yang menindihnya. Semua usaha tersebut sia-sia, bahkan dengan pergulatan itu, tanktop yang dipakainya sudah tersingkap ke pinggang, membuat punggungnya jelas terlihat.

Seperti umumnya wanita yang memakai tanktop tanpa BH, Vonny tidak memiliki perlindungan di bawahnya, dan Reza menyadari hal ini. Tangan Reza yang semula memijat leher dan pundak Vonny kini mulai berani turun ke bagian depan.

“Aaiiih, ooooooh, mas, sudah dong, jangan teruskan, suami saya pasti sebentar lagi pulang. Jangan, lepas dong, tolong saya, engga mauuu,” Vonny semakin liar menggeliat ketika merasakan jari-jari Reza mulai menyentuh dan meremas bagian sensitifnya dari samping.

Reza, merasa perlawanan Vonny sudah sangat menurun, semakin berani bertindak. Ia dengan sigap menarik dan menyingkap tanktop merah muda Vonny dari bahu dan kepalanya, sehingga dalam beberapa detik bagian atas tubuh Vonny telah telanjang tanpa penutup apa pun.

Tanktop tersebut dibiarkan oleh Reza menyelubungi kedua bahu dan lengan Vonny, sehingga mangsanya sementara terjirat dan terbelenggu, menyulitkan Vonny untuk berontak. Vonny semakin panik dan meronta, tidak menduga bahwa Reza akan melangkah sejauh itu. Namun, semua usahanya tidak membuahkan hasil, sementara tubuhnya kini hanya mengenakan CD string.

“Tenaaaang aja, Bu, tenaaaang, relaaaax. Pasti Ibu enggak akan nyesel. Pak Ridwan pasti masih sibuk, apalagi mau beli makanan dulu. Nikmati saja permainan saya, enggak ada yang tahu,” ujar Reza sambil melanjutkan aksinya, kini menemukan puting Vonny dan mulai memilin serta mencubitnya.

Vonny tak berdaya menghadapi serangan bertubi-tubi itu. Hanya kedua betisnya yang menekuk dan menghentak-hentak, sementara kedua tangannya yang berusaha mencakar ke belakang kini dipegang dan ditelikung oleh tangan kiri Reza. Ini semakin menambah nafsu Reza, membuatnya semakin bersemangat.

Tiba-tiba, Reza bangkit dan membalikkan tubuh Vonny sehingga terlentang, kemudian segera menindihinya lagi. Kedua pergelangan tangan Vonny yang langsing diletakkan di atas kepala dan dicekal dengan satu tangan kiri, sementara tangan kanannya menggerayangi dan meremas buah dada Vonny.

Mulut Reza yang besar dan bibir tebalnya segera mencakup mulut Vonny yang jauh lebih kecil, menyebabkan Vonny gelagapan. Terutama ketika lidah Reza, yang berbau rokok, berusaha membelah bibirnya untuk memasuki rongga mulutnya.

Karena Vonny enggan membuka mulutnya, Reza, dengan semangat tak tergoyahkan, menarik dan mencubit puting payudara Vonny yang sudah menonjol, hingga Vonny merasakan sengatan luar biasa, seperti ribuan jarum tajam menusuk kulitnya. Ia meringis dan hampir berteriak, sementara lidah Reza melesat masuk dengan kecepatan kilat!

“Auuuuw, eemmppfhh, sshhhh,” hanya desisan tertahan yang bisa keluar dari mulut Vonny yang kini dikuasai sepenuhnya oleh Reza.

Vonny semakin tak berdaya menghadapi serangan Reza, tubuhnya yang baru mandi kini basah kembali oleh keringat karena perlawanan yang sia-sia. Lidahnya, tanpa disadari, mulai ikut "berkelahi" dengan lidah Reza, ludah keduanya bercampur, dan bau rokok yang sangat tidak disukai Vonny kini seperti angin lalu. Sapuan lidah Reza menyapu langit-langit mulut Vonny dengan rasa geli yang tak tertahan, ditambah dengan cubitan yang menggetarkan pada puting susu Vonny.

Reza merasakan di cekalan tangan kirinya bahwa getaran pergelangan tangan Vonny semakin melemah, entah karena Vonny sudah kelelahan atau nafsu birahi Vonny yang membangkitkan semangatnya untuk menyerah. Reza segera memanfaatkan kesempatan ini dengan cerdik, menarik celana dalam string Vonny yang merupakan penutup aurat terakhirnya dengan penuh ketangkasan dan keberanian.

Vonny memekik dengan penuh kegundahan sambil meronta-ronta, namun semuanya sudah terlambat. Kini, tubuhnya yang kuning langsat dan putih terbuka sempurna di hadapan Reza, lengkap dengan senyuman kemenangan yang lebar. Dengan keyakinan bahwa Vonny tidak akan melawan lagi, Reza melepaskan cekalan tangan kirinya dari kedua nadi mangsanya, dan tangan Vonny secara refleks melintang di dadanya, berusaha menutup celah selangkangannya.

Sementara ia memperhatikan buah dada montok Vonny yang bergetar hebat karena nafsu yang memburu, Reza melepaskan kemeja, kaos, serta jeans dan celana dalamnya secara bersamaan.

Kini, dua insan berlainan jenis telah bugil seperti Adam dan Hawa di taman firdaus: seorang wanita muda dengan kulit putih kuning langsat, tubuh montok, terlentang tak berdaya di sofa, menghadapi seorang pria pribumi bertubuh kekar, berkulit hitam gelap, dengan alat kejantanan yang tegang siap untuk menyerang.

“Sudah, Mas, jangan diteruskan. Saya tidak mau, nanti semua orang tahu, saya kan bersuami dan sebentar lagi pulang. Jangan Mas, saya akan menyimpan peristiwa ini sebagai rahasia terbesar dalam hidup saya, tapi hentikanlah sekarang!” Vonny berusaha tenang meskipun degup jantungnya telah berdetak seperti mesin jet yang sedang melaju kencang karena menahan emosi yang meledak-ledak.

“Jangan takut, Ibu. Saya tidak akan menyakiti Ibu. Sebenarnya, Ibu juga pasti sangat ingin merasakan petualangan luar biasa ini. Tidak perlu malu, semua ini biasa saja. Tubuh Ibu yang masih segar bagaikan bunga yang harus disiram air sebanyak mungkin,” Reza berusaha menenangkan Vonny sambil tubuhnya mulai menindih mangsanya yang tergeletak seolah-olah dunia telah berputar di sekeliling mereka.

Reza, dengan nafsu yang telah mencapai puncaknya seperti letusan gunung berapi, ragu sejenak: apakah istri bosnya di kantor ini akan dipaksanya untuk melakukan perbuatan yang sangat tidak senonoh. Namun, setelah beberapa detik, dia memutuskan untuk menunda tindakan tersebut, mungkin di kesempatan yang akan datang, ketika kesempatan lebih sempurna.

Lebih baik sekarang kalau gue yang menjilat memeknya si amoy bahenol ini, agar dia benar-benar terangsang sampai menggeliat bagaikan seseorang yang sedang dilanda hysteris dan haus akan kepuasan. Ini adalah strategi terbaik saat ini, dan Reza sudah memutuskan demikian.

Reza menurunkan wajahnya dan mulai menciumi leher Vonny dengan semangat yang membara, menjalar hingga telinga kiri dan kanan, sambil tangan kirinya meremas dan memijat dua gundukan daging putih di dada seolah-olah ingin menghancurkan mereka, sementara tangan kanannya turun menuju pusar dan bermain sebentar di sana sebelum semakin mendekati bukit Venus yang dihiasi rambut halus, seolah-olah benar-benar diperlakukan dengan perhatian yang sangat berlebihan.

Vonny mencoba menggeliat dan meronta, namun tampaknya perlawanan itu tidak sekuat seorang wanita yang berjuang mati-matian untuk mempertahankan kehormatannya. Ketika mulut Reza menurun dari leher ke buah dada untuk menggigit putingnya, Vonny hanya memalingkan wajahnya ke samping dengan desahan lembut, sementara kedua tangannya bahkan memegangi rambut Reza seolah-olah tak ada yang lebih penting daripada itu.

Tindakan Reza seolah mengubah dunia di sekelilingnya menjadi badai gairah. Ciuman dan cupangannya yang menggebu-gebu berpindah dari puting-puting merah kemerahan yang berkilau basah, meluncur bak aliran lava panas menuju pusar Vonny, yang kini ia hisap dengan semangat tak terhingga. Perjalanan liarnya tak berhenti di situ; ia terus menyusuri area intim Vonny, seakan-akan mencari harta karun tersembunyi. Tangan kirinya tak pernah berhenti bermain di puting-puting yang kini berdiri menantang dan sensitif, sementara tangan kanannya menggeliat lembut di dalam paha putih Vonny yang merangsang seperti beludru.

“Aaaah, udaaah dong, geliii, bapak nakal amat sih, udaah dong suami saya pulang nih, ntar ketahuan,” Vonny mendesah, napasnya semakin tak teratur, menahan gairah yang membara.

“Udah tanggung bu, kepalang basah, nikmati aja lah, bapak masih sibuk di kantor,” Reza membujuk sambil terus menjelajahi wilayah intim Vonny. Wajahnya kini terbenam dalam lipatan dalam paha Vonny, mencium dan menyentuh dengan penuh kasih hingga memerahkan kulit lembutnya.

Vonny menundukkan wajahnya, mengeluarkan suara dengusan yang bagaikan ledakan petir, terguncang oleh pekikan kecil dari rasa geli saat Reza menggigit bagian dalam pahanya yang sangat sensitif. Gelian dan gerakan tubuhnya semakin hebat, seperti badai yang semakin kencang, ketika Reza mulai mencium daerah yang sangat intim itu. Lidah Reza yang lebar dan kasar menjulur seperti ular raksasa yang mengejar mangsanya, mendekati celah tersembunyi yang hampir tidak terlihat.

Begitu lidah itu menemukan tujuannya, ia menjilati tepi bibir pelindung vagina Vonny dengan semangat seperti air yang meluap dari bendungan, membasahinya hingga akhirnya mencoba menyelinap lebih dalam. Sambil melakukan semua itu, Reza berhasil mengangkat kedua paha Vonny, menekuknya di bagian lutut, dan menempatkannya di atas pundaknya seolah-olah itu adalah beban ringan yang tidak berarti.

Kini, bukit kemaluan Vonny tampak seperti pemandangan gunung yang menakjubkan di depan wajahnya, sementara mangsanya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala seperti daun yang tertiup angin, sambil menggigit bibir bawahnya seolah-olah mencoba menahan gelombang emosi yang membanjir.

Tentu, berikut adalah kalimat yang disusun ulang dengan menggunakan hiperbola:

“Hmmmmh, wanginya bu, seolah seperti aroma langit yang baru saja jatuh ke bumi, bukan sekadar wangi sabun, tetapi harum yang membuat seluruh dunia bergetar,” ujar Reza dengan kepiawaian seorang aktor film dewasa, yang membuat pipi Vonny semakin merah merona. 

Menyadari bahwa Vonny tampaknya telah terbakar oleh gairah yang membara dan tidak akan menolak, Reza tanpa ragu memasukkan lidahnya ke dalam liang surgawi yang sebelumnya telah dicium.

Lidah yang bagaikan lidah api itu menjelajahi dinding vagina Vonny dengan kedalaman yang seolah tak berbatas, menyusuri ke atas dan ke bawah, menyentuh lubang kecil yang sensitif seperti jarum yang menusuk. Akibatnya, Vonny meronta-ronta dalam gelombang kegelian yang belum pernah dirasakannya, bahkan tidak pernah ia bayangkan dengan suaminya sendiri, Ridwan, apalagi dengan office boy yang tak tampak merasa jijik.

Reza semakin memperkuat usahanya untuk memanjakan istri bosnya. Setelah menjelajahi liang kecil tersebut, lidahnya melanjutkan perjalanan ke atas di antara lipatan bibir kemaluan Vonny untuk menemukan sebutir daging kecil yang tersembunyi. Setelah menemukannya, lidahnya menyentuh daging merah itu dengan nafsu yang tak tertahan, mengusap, menjilat, dan mengemut dengan penuh perasaan, bahkan menjepitnya dengan lembut di antara giginya sebelum menjilat kembali. Vonny seolah tersengat listrik, menggeliat-geliat dan memekik manja dalam rasa geli yang tak tertandingi.

"Vonny merintih seolah langit runtuh dan gempa bumi mengguncang saat cairan lendir meluap keluar, membanjiri vaginanya dengan sensasi orgasme yang luar biasa, menandakan bahwa ia sudah siap menyambut kehadiran batang kemaluan sang pahlawan dengan penuh keinginan yang membara. 

Sementara itu, Reza merasakan bibirnya yang menempel pada dinding vagina Vonny semakin basah dan lengket, seperti ditembusi aliran sungai pelumas wanita yang tak terhentikan. Saatnya tiba untuk memasuki liang surgawi Vonny, Reza menatap dengan rasa puas melihat wajah Vonny yang bersinar karena keringat, lalu dengan tangan kiri yang memegang penisnya yang menegang, ia mengarahkan 'rudal' itu dengan penuh kepastian. Perlahan tapi pasti, batangnya meluncur masuk, seolah menembus dimensi baru setiap milimeternya.

Vonny melolong seakan-akan dunia berhenti berputar, mengeluh dengan desahan yang membahana saat kemaluan Reza merobek dan menggali lebih dalam hingga mencapai kedalaman tak terukur. Bulu kemaluan mereka menyatu dalam pertarungan hebat yang mengalahkan semua batasan."

Reza bertanya dengan nada memuja, "Hhhmmmhhh, ooooh, nikmaaaatnya! Ibu masih peret gini, latihan kegel tiap hari ya bu?" Gerakannya yang penuh semangat, dengan pinggulnya bergerak maju mundur, disambut oleh Vonny yang membalas dengan gerakan serupa, menjadikan Reza semakin bergairah dalam usahanya. Mereka berdua tampak seperti bintang-bintang yang bergetar penuh gairah di atas panggung, mengisi ruangan dengan energi yang membara.

Keduanya telah berada dalam pusaran nafsu yang tak terbayangkan, dengan keringat yang bercucuran, melawan kontras kulit yang begitu mencolok: Vonny dengan kulit kuning langsatnya yang halus, dan Reza dengan kulit coklat tua kehitaman yang kasar. Namun, saat itu, perbedaan kulit tampak menghilang, hanya menyisakan gelora nafsu yang menguasai mereka berdua. Desahan, dengusan, rengekan, rintihan, dan geraman mereka silih berganti seperti simfoni penuh gairah.

Semakin lama, keduanya terbuai dalam gelombang kesenangan, melupakan segalanya. Gerakan pinggul Reza semakin cepat, meskipun pinggangnya terjepit di antara paha Vonny. Tangan Vonny memeluk tubuh Reza dengan erat, seolah tak akan pernah melepaskannya. Panas dan gatal menyelimuti vaginanya seiring gesekan yang terus-menerus dan cepat, hingga akhirnya…

“Oh ibuuuu, aaaaah, nyonya yang luar biasa, abang rasanya mau tenggelam dalam gelombang ini,” desah Reza dengan penuh semangat di telinga Vonny.

“Iyyyaaaaaahhh, oooooohh, sssssshhh, terussssss, iyaaaaaa, masukkkan teruuuus, iyyyaaaa,” teriak Vonny seolah terjebak dalam badai emosional, mencakar lengan Reza dan menggigit bahunya ketika mereka mencapai puncak kenikmatan yang tak tertandingi, sementara office boy itu menyemprotkan lava panasnya berulang kali ke dalam rahim Vonny.

Sepuluh menit kemudian, mereka buru-buru menuju kamar mandi untuk menghapus keringat yang seolah membanjiri tubuh mereka. Vonny kembali merapikan baju tank-top-nya, sedangkan Reza mengenakan seragam kantornya yang tampak kembali bersinar.

Satu jam kemudian, mereka menikmati hidangan yang dibeli oleh Ridwan, ngobrol dengan santai seolah tidak ada kejadian luar biasa yang baru saja terjadi. Vonny merasa sangat puas dengan petualangan yang seakan telah mengubah hidupnya, meskipun di sudut hatinya muncul keraguan apakah sebaiknya dia mengungkapkan kenikmatan terlarang itu kepada suaminya.