Cerita Enak - Ngewe Adik Ipar Saat Di Rumah Tidak Ada Siapa-Siapa. Aku hampir menginjak usia 35 tahun, kira-kira tiga tahun lagi. Saat ini, aku tinggal bersama ibu mertuaku yang telah lama kehilangan suaminya karena penyakit yang merenggut nyawanya.
Karena itu, istriku menginginkan agar aku tetap di rumah, sehingga kami bisa terus bersama sebagai keluarga dan tidak berpisah.
Di rumah itu, kami berjumlah tujuh orang. Ironisnya, hanya aku dan anak laki-lakiku yang berusia satu tahun yang berjenis kelamin pria, sementara sisanya adalah perempuan.
Jadi, begini ceritanya. Awal September lalu, aku berhenti bekerja karena memutuskan untuk mengundurkan diri.
Aku menghabiskan hari-hariku di rumah bersama anakku, maklum saja, saat aku masih bekerja, jarang sekali aku punya kesempatan untuk dekat dengannya.
Hari-hariku berlalu tanpa rasa khawatir akan kehabisan stok kebutuhan. Aku menjadi semakin santai dan bahkan semakin terbiasa dengan kemalasanku.
Pagi itu, sekitar pukul 9, aku baru saja terbangun. Aku menyadari bahwa istri dan anakku tidak ada di sampingku. "Mungkin mereka sedang di beranda," pikirku dalam hati.
Ketika aku hendak turun dari tempat tidur, aku mendengar suara tangisan anakku yang terdengar mendekat dari arah pintu.
Pada saat yang bersamaan, pintu kamar terbuka dengan cepat dan tergesa-gesa.
Oh, ternyata dia bersama tantenya Rosa, adik iparku. Rupanya, anakku baru saja mengompol di celananya.
Adik iparku sedang mengganti celana anakku. Aku bertanya, “Kemana mamanya, Sa?” Dia menjawab, “Lagi ke pasar, Bang.” Kemudian dia menambahkan, “Emang tidak diberi tahu?”
Pagi itu, aku melihat Rosa sedikit canggung. Dia beberapa kali melirik ke bawah selimut dan tampaknya salah dalam mengenakan celana anakku.
“Kenapa kamu?” tanyaku dengan heran. Rosa menjawab, “Hmm, Anu, Bang…” sambil melirik ke bawah lagi. “Oh, maaf ya, Sa?” Aku terkejut saat menyadari bahwa selimut yang kupakai tidur sudah melorot hingga setengah pahaku tanpa kusadari, dan aku ternyata sedang telanjang.
Hmmm… tadi malam aku baru saja berhubungan dengan istriku hingga kelelahan dan lupa mengenakan celana, hehehe. Anehnya, Rosa hanya tersenyum—bukan senyum malu—dan malah berkata, “Abis tempur ya, Bang. Mau dong…” Tanpa ragu, dia mengatakannya. “Haaa…” Aku langsung terkejut mendengar pernyataan itu, dan kini aku merasa canggung, berkeringat dingin, lalu segera bergegas ke toilet di kamarku.
Dua hari setelah memikirkan pernyataan adik iparku kemarin pagi, aku masih penasaran mengapa dia bisa mengatakan hal seperti itu. Setahuku, Rosa adalah orang yang sangat sopan, tidak banyak bicara, dan jarang bergaul. Ah, tidak masalah lah, jika kesempatan seperti itu datang lagi, aku tidak akan menyia-nyiakannya. Bagaimana bisa aku melewatkannya? Rosa memiliki tubuh yang sangat menarik, kulit sawo matang, dan rambut lurus panjang. Bukan bermaksud sok bangga, tapi dia mirip sekali dengan bintang film dan artis sinetron Titi Kamal.
Saat momen yang kutunggu-tunggu tiba, rumah kami sedang sangat sepi. Istriku, anak, dan mertuaku sedang pergi arisan ke rumah keluarga almarhum mertuaku, sementara iparku yang satu lagi sedang kuliah. Hanya aku dan Rosa yang tersisa di rumah. Ketika aku menuju kamar mandi belakang untuk keperluan pribadi, aku berpapasan dengan Rosa yang baru selesai mandi. Dia hanya mengenakan handuk yang menutupi dada dan separuh pahanya. Kami saling tersenyum, seolah saling mengisyaratkan sesuatu.
Saat aku sedang menyelesaikan urusan di kamar mandi, tiba-tiba pintu kamar mandi diketuk. “Siapa?” tanyaku. “Duh, kan cuma kita berdua di rumah ini, Bang,” jawab adik iparku. “Oh iya, ada apa, Sa?” tanyaku lagi. “Bang, lampu di kamarku mati,” jawabnya. “Cepetan dong!” tambahnya. “Oo… iya, bentar ya,” balasku sambil mengancingkan celana dan bergegas ke kamar Rosa. Aku membawa kursi plastik sebagai pijakan agar bisa meraih lampu yang dimaksud. “Sa, tolong pegangin kursi ini ya?” perintahku. “OK, Bang,” jawabnya. “Kenapa kamu belum pakai baju?” tanyaku heran. “Abisnya agak gelap, Bang,” jawabnya. “Ooo…!” Aku berusaha meraih lampu di atas.
Tiba-tiba, entah bagaimana, kursi plastik yang aku injak oleng ke arah Rosa. Dan… braaak, aku terjatuh ke ranjang dan menghimpit Rosa. “Ou… ou…” Aku terkejut melihat handuk yang menutupi bagian atas tubuhnya terbuka. “Maaf, Sa,” kataku. “Gak apa-apa, Bang,” jawabnya. Anehnya, Rosa tidak segera menutup handuknya, dan aku masih berada di atas tubuhnya. Malah, dia tersenyum kepadaku. Melihat hal tersebut, aku yakin dia merespons. Aku merasa terangsang, dan kami saling bertatap muka. Entah energi apa yang mengalir di tubuh kami, aku dengan berani mencium bibirnya. Rosa hanya terdiam dan tidak membalas. “Kenapa kamu diam?” tanyaku. “Ehmm… malu, Bang,” jawabnya. Aku tahu dia belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya.
Aku terus mencium bibir adik iparku yang tipis dan berbelah. Lama-kelamaan, dia mulai membalas ciumanku, hingga bibir kami saling berpaut. Aku terus menggempur dengan ciuman dan sentuhan, dan Rosa mulai tampak bisa mengikuti. Payudaranya kini menjadi sasaran, kulumat, kujilati, kuhisap, bahkan kupelintir sedikit. “Ouhh… sakit, Bang. Tapi enak kok,” katanya. “Sa… tubuh kamu sangat bagus, sayang… ouhmmm,” balasku sambil melanjutkan ke bagian perut, pusar, dan hampir mendekati daerah kemaluannya. Rosa tidak melarangku, malah semakin gemas menjambak rambutku. Meskipun terasa sakit, aku tetap diam.
Rosa baru saja selesai mandi, dan tubuhnya terasa segar. Bulu di area tersebut terawat dengan baik. Aku mencoba mendekatinya dengan lembut. Namun, saat aku menjulurkan lidahku, dia merasa tidak nyaman dan mengeluh. “Adauuu…. sakiiit,” katanya. Aku langsung meminta maaf, “Oh, maaf, Sa.” Rosa meminta agar aku melanjutkan dengan lebih lembut, dan dia mengizinkanku untuk terus mendekat.
Selanjutnya, Adik iparku mulai menunjukkan perhatian pada diriku. Ia melakukan berbagai hal dengan lembut, menjilati, dan mengatur posisi kami dengan hati-hati. “Ohhh… Sa, enak kali sayang, ah…?” kataku. Rosa mengakui bahwa dia tidak tahan lagi dan meminta agar aku melanjutkan. Aku mengikuti permintaannya, dan Rosa mengambil posisi di atas, memegang dan mengarahkan ke area yang sensitif. Meskipun awalnya agak sulit, setelah ia menyiapkannya dengan hati-hati, prosesnya menjadi lebih mudah.
“Ou… ahhh…” seluruh perhatian dan perasaan kami terfokus pada momen tersebut. Adik iparku mulai bergerak dengan penuh semangat, menopang tubuhku dengan tangannya. Gerakannya menjadi lebih intens, dan dia mulai meremas dadaku, yang menarik perhatianku. Aku tidak ingin dia menikmati momen itu sendiri. Sambil bergerak, aku mengambil posisi duduk, menghadap ke payudaranya.
Adik iparku semakin bersemangat ketika aku memberi perhatian pada tubuhnya. “Akhhhh… aku sudah tidak tahan, Bang. Mau keluar nih. Awwwhhh??” katanya. Aku memintanya untuk bertahan sejenak, “Jangan dulu, Sa, tahan sebentar.” Aku berusaha lebih dalam, dan Rosa tampak merasakan sensasi yang mendalam. Dia menekan punggungku dengan kakinya, seolah meminta lebih.
“Ampuuuun… ahhhh… terus, Bang,” teriaknya. “Baaang… goyangnya cepat lagi, ahhhh… sudah mau keluar nih,” pintanya. Rosa tidak hanya merintih, tetapi juga menarik rambutku dan meremas tubuhku. “Oughhhhh… abang juga mau keluar, Zzhaa,” kataku. Aku mempercepat gerakan, dan kami berdua merasakan akhir dari momen ini. Erangan panjang kami menandakan akhir dari pertemuan ini.
Setelah selesai, aku mengajukan permintaan agar Adik Iparku membersihkan dirinya. Setelah itu, kami berdua merasa puas dan tertidur lemas. Kesempatan seperti ini kami manfaatkan di berbagai tempat—di rumah, kamar mandi, hotel, bahkan ketika menggendong anakku di ruang tamu. Dimanapun dan kapanpun, kami selalu siap.